MAKALAH SISTEM PENILAIAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penilaian
hasil belajar merupakan aktivitas yang sangat penting dalam proses pendidikan.
Semua proses di lembaga pendidikan formal pada akhirnya akan bermuara pada
hasil belajar yang diwujudkan secara kuantitatif berupa nilai.
Hasil belajar
siswa tidak selalu mudah untuk dinilai. Sebagaimana diketahui, tujuan pembelajaran
meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah pengetahuan (kognitif)
dan sikap (afektif) relatif sulit untuk diamati, meski pun dapat diukur. Oleh
karena itu, dalam proses penilaian hasil belajar langkah yang pertama harus
dimulai dari perumusan tujuan pembelajaran yang memungkinkan untuk diamati dan
diukur (observable and measurable). Berangkat dari tujuan pembelajaran
yang dirumuskan, maka disusunlah instrument untuk mengamati dan mengukur hasil
pembelajaran.
Dengan
menggunakan instrumen, diperoleh data yang mencerminkan ketercapaian tujuan
pembelajaran pada seorang peserta didik. Data ini selanjutnya harus diolah dan
dimaknai sehingga menjadi informasi yang bermakna. Selain itu berdasarkan data
tersebut penilai dapat membuat keputusan mengenai posisi atau status seorang
peserta didik, misalnya naik atau tidak naik kelas, lulus atau tidak dan
sebagainya.
Seluruh
proses penilaian hasil belajar tentu harus dilakukan dengan cermat, mulai dari
penyusunan instrumen, pelaksanaan tes, pengolahan, sampai pada penetapan hasil
akhir. Pada setiap tahapan diperlukan keterampilan khusus yang perlu
dipelajari. Tulisan ini bermaksud membekali pengawas untuk dapat membina para
guru dalam melaksanakan penilaian hasil belajar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Apakah Pengertian, Fungsi, Tujuan dan Prinsip Penilaian Hasil Belajar ?
2.
Apa saja Jenis Penilaian dan Standar Penilaian?
3.
Bagaimana Cara Penskoran
dalam Penilaian?
4.
Bagaimana Ranah
Penilaian Hasil Belajar?
5.
Bagaimana Alat
Penilaian Hasil Belajar ?
C. Tujuan
1.
Mengetahui Pengertian, Fungsi, Tujuan dan Prinsip Penilaian Hasil Belajar.
2.
Mengetahui Jenis Penilaian dan Standar Penilaian.
3.
Mengetahui Cara
Penskoran dalam Penilaian.
4.
Mengetahui Ranah Penilaian
Hasil Belajar
5.
Mengetahui Alat Penilaian Hasil
Belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian, Fungsi,
Tujuan dan Prinsip Penilaian Hasil Belajar
1.
Pengertian Penilaian Hasil Belajar
Ditinjau
dari sudut bahasa, penilaian diartikan sebagai proses menentukan nilai suatu
objek. Untuk dapat menentukan suatu nilai atau harga suatu objek diperlukan
adanya ukuran atau kriteria. Misalnya untuk dapat mengatakan baik, sedang,
kurang, diperlukan adanya ukuran yang jelas bagaimana yang baik, yang sedang,
dan yang kurang. Ukuran itulah yang dinamakan kriteria.
Dari
pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa ciri penilaian adalah adanya objek
atau program yang dinilai dan adanya kriteria sebagai dasar untuk membandingkan
antara apa yang dicapai dengan kriteria yang harus dicapai. Perbandingan bisa
bersifat mutlak, bisa pula bersifat relatif. Perbandingan bersifat mutlak
artinya hasil perbandingan tersebut menggambarkan posisi objek yang dinilai
ditinjau dari kriteria yang berlaku. Sedangkan perbandingan yang bersifat
relatif artinya hasil perbandingan lebih menggambarkan posisi suatu objek yang
dinilai terhadap objek lainnya dengan bersumber pada kriteria yang sama. Dengan
demikian, inti penilaian adalah proses menentukan
nilai suatu objek tertentu berdasarkan kriteria tertentu.
Proses
pemberian nilai tersebut berlangsung dalam bentuk interpretasi yang diakhiri
dengan judgment. Interpretasi dan judgment merupakan tema
penilaian yang mengimplikasikan adanya suatu perbandingan antara kriteria dan
kenyataan dalam konteks situasi tertentu. Atas dasar itu maka dalam kegiatan
penilaian selalu ada objek/program yang dinilai, ada kriteria, dan ada interpretasi/judgment.
Penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil
belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan
bahwa objek yang dinilainya adalah hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa
pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil
belajar dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan
psikomotoris. Oleh sebab itu, dalam penilaian hasil belajar rumusan kemampuan
dan tingkah laku yang diinginkan dikuasai siswa (kompetensi) menjadi unsur
penting sebagai dasar dan acuan penilaian. Penilaian proses pebelajaran adalah
upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh
siswa dan guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran.
2. Fungsi Penilaian Hasil Belajar
Tujuan
pembelajaran pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku pada diri siswa.
Oleh sebab itu dalam penilaian hendaknya diperiksa sejauh mana perubahan
tingkah laku siswa telah terjadi melalui proses belajarnya. Dengan mengetahui
tercapai tidaknya tujuan pembelajaran, dapat diambil tindakan perbaikan proses
pembelajaran dan perbaikan siswa yang bersangkutan. Misalnya dengan melakukan
perubahan dalam strategi mengajar, memberikan bimbingan dan bantuan belajar
kepada siswa. Dengan perkataan lain, hasil penilaian tidak hanya bermanfaat
untuk mengetahui tercapai tidaknya perubahan tingkah laku siswa, tetapi juga
sebagai umpan balik bagi upaya memperbaiki proses pembelajaran.
Dalam penilaian
ini dilihat sejauh mana keefektifan proses pebelajaran dalam mengupayakan
perubahan tingkah laku siswa. Oleh sebab itu, penilaian hasil dan proses
belajar saling berkaitan satu sama lain sebab hasil belajar yang dicapai siswa
merupakan akibat dari proses pembelajaran yang ditempuhnya (pengalaman belajarnya).
Sejalan dengan pengertian diatas maka penilaian berfungsi sebagai berikut:
a. Alat
untuk mengetahui tercapai-tidaknya tujuan pembelajaran. Dengan fungsi ini maka penilaian
harus mengacu pada rumusan-rumusan tujuan pembelajaran sebagai penjabaran dari
kompetensi mata pelajaran.
b. Umpan
balik bagi perbaikan proses belajar-mengajar. Perbaikan mungkin dilakukan dalam
hal tujuan pembelajaran, kegiatan atau pengalaman belajar siswa, strategi
pembelajaran yang digunakan guru, media pembelajaran, dll.
c. Dasar
dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa kepada para orang tuanya. Dalam
laporan tersebut dikemukakan kemampuan dan kecakapan belajar siswa dalam
berbagai bidang studi atau mata pelajaran dalam bentuk nilai-nilai prestasi
yang dicapainya.
3. Tujuan Penilaian Hasil Belajar
Sejalan dengan
fungsi penialaian di atas maka tujuan dari penilaian hasil belajar adalah untuk
:
a. Mendeskripsikan
kecakapan belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan
kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya.
Dengan pendeskripsian kecakapan tersebut dapat diketahui pula posisi kemampuan
siswa dibandingkan dengan siswa lainnya
b. Mengetahui
keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran disekolah, dalam aspek
intelektual, sosial, emosional, moral, dan ketrampilan yakni seberapa jauh
keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para siswa ke arah tujuan pendidikan
yang diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan pembelajaran penting artinya
mengingat peranannya sebagai upaya memanusiakan atau membudayakan manusia,
dalam hal ini para siswa agar menjadi manusia yang berkualitas.
c. Menentukan
tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan
dalam hal program pendidikan dan pembelajaran serta strategi pelaksanaannya.
Kegagalan para siswa dalam hasil belajar yang dicapainya hendakmya tidak
dipandang sebagai kekurangan pada diri siswa semata-mata, tetapi juga bisa
disebabkan oleh program pembelajaran yang diberikan kepadanya atau oleh
kesalahan strategi dalam mekalsanakan program tersebut. Misalnya
kekurangtepatan dalam memilih dan menggunakan metode mengajar dan alat bantu
pembelajaran.
d. Memberikan
pertanggungjawaban (accountability) dari pihak sekolah kepada
pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak yang dimaksud meliputi pemerintah, masyarakat,
dan para orang tua siswa. Dalam mempertanggungjawabkan hasil-hasil yang telah
dicapainya, sekolah memberikan laporan berbagai kekuatan dan kelemahan
pelaksanaan sistem pendidikan serta kendala yang dihadapinya. Laporan
disampaikan kepada pihak yang berkepentingan, misalnya dinas pendidikan
setempat melalui petugas yang menanganinya. Sedangkan pertanggungjawaban kepada
masyarakat dan orang tua disampaikan melalui laporan kemajuan belajar siswa (raport)
pada setiap akhir program semester.
4. Prinsip Penilaian Hasil Belajar
Selain tujuan
dan fungsi penilaian, guru juga harus memahami prinsip-prinsip penilaian.
Prinsip penilaian yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut :
a. Penilaian
hasil belajar hendaknya menjadi bagian integral dari proses pembelajaran. Artinya
setiap guru melaksanakan proses pembelajaran ia harus melaksanakan kegiatan
penilaian. Penilaian yang dimaksud adalah penilaian formatif. Tidak ada proses
pembelajaran tanpa penilaian. Dengan demikian maka kemajuan belajar siswa dapat
diketahui dan guru dapat selalu memperbaiki kualitas proses pembelajaran yang
dilaksanakannya.
b. Penilaian
hasil belajar hendaknya dirancang dengan jelas kemampuan apa yang harus
dinilai, materi atau isi bahan ajar yang diujikan, alat penilaian yang akan
digunakan, dan interpretasi hasil penilaian. Sebagai patokan atau rambu-rambu
dalam merancang penilaian hasil belajar adalah kurikulum yang berlaku terutama
tujuan dan kompetensi mata pelajaran, ruang lingkup isi atau bahan ajar serta
pedoman pelaksanaannya.
c. Penilaian
harus dilaksanakan secara komprehensif, artinya kemampuan yang diukurnya
meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotiris. Dalam aspek kognitif
mencakup: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi
secara proporsional.
d. Alat
penilaian harus valid dan reliabel. Valid artinya mengukur apa yang seharusnya
diukur (ketepatan). Reliabel artinya hasil yang diperoleh dari penilaian
adaalah konsisten atau ajeg (ketetapan).
e. Penilaian
hasil belajar hendaknya diikuti dengan tidak lanjutnya. Data hasil penilaian
sangat bermanfaat bagi guru sebagai bahan untuk menyempurnakan program
pembelajaran, memperbaiki kelemahan-kelemahan pembelajaran, dan kegiatan
bimbingan belajar pada siswa yang memerlukannya.
f. Penilaian
hasil belajar harus obyektif dan adil sehingga bisa mengambarkan kemampuan
siswa yang sebenarnya. Prinsip-prinsip penilaian di atas dapat digunakan guru
dalam merencanakan dan melaksanakan penilaian hasil belajar.
B. Jenis Penilaian dan Standar Penilaian
1. Jenis Penilaian
Dilihat
dari fungsinya penilaian dibedakan menjadi lima jenis yaitu penilaian formatif, penilaian
sumatif, penilaian diagnostik, penilaian selektif, dan penilaian penempatan.
a.
Penilaian Formatif
Penilaian
formatif adalah penilaian yang dilaksanakan guru pada saat berlangsungnya
proses pembelajaran untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar-mengajar
itu sendiri. Dengan demikian, penilaian formatif berorientasi kepada proses
belajar-mengajar untuk memperbaiki program pengajaran dan strategi
pelaksanaannya.
b.
Penilaian Sumatif.
Penilaian
sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit
program, yakni akhir caturwulan, akhir semester, dan akhir tahun. Tujuannya
adalah untuk melihat hasil yang dicapai oleh para siswa, yakni seberapa jauh
kompetensi siswa dan kompetensi mata pelajaran dikuasai oleh para siswa.
Penilaian ini berorientasi kepada produk, bukan kepada proses.
c.
Penilaian Diagnostik.
Penilaian
diagnostik adalah penilaian yang bertujuan untuk melihat kelemahan- kelemahan
siswa serta faktor penyebabnya. Penilaian ini dilaksanakan untuk keperluan
bimbingan belajar, pengajaran remedial (remedial teaching), menemukan
kasus-kasus, dll. Soal-soalnya disusun sedemikian rupa agar dapat ditemukan
jenis kesulitan belajar yang dihadapi oleh para siswa.
d.
Penilaian Selektif.
Penilaian
selektif adalah penilaian yang bertujuan untuk keperluan seleksi, misalnya tes
atau ujian saringan masuk ke sekolah tertentu.
e.
Penilaian Penempatan.
Penilaian
penempatan adalah penilaian yang ditujukan untuk mengetahui keterampilan
prasyarat yang diperlukan bagi suatu program belajar dan penguasaan belajar
seperti yang diprogramkan sebelum memulai kegiatan belajar untuk program itu.
Dengan perkataan lain, penilaian ini berorientasi kepada kesiapan siswa untuk
menghadapi program baru dan kecocokan program belajar dengan kemampuan siswa.
2. Standar Penilaian
Selain
jenis-jenis penilaian perlu juga dijelaskan mengenai standar penilaian yakni
cara yang digunakan dalam menentukan derajat keberhasilan hasil penilaian
sehingga dapat diketahui kedudukan siswa, apakah ia telah menguasai ujuan
pembelajaran ataukah belum. Standar penilaian hasil belajar pada umumnya
dibedakan kedalam dua standar, yakni standar penilaian acuan norma (PAN) dan
penilaian acuan patokan (PAP).
a.
Penilaian Acuan Norma (PAN)
Penilaian
Acuan Norma (PAN) adalah penilaian yang menggunakan acuan pada rata-rata
kelompok. Dengan demikian dapat diketahui posisi kemampuan siswa dalam
kelompoknya. Untuk itu norma atau kriteria yang digunakan dalam menentukan
derajat prestasi seorang siswa selalu dibandingkan dengan nilai rata-rata
kelasnya. Atas dasar itu akan diperoleh tiga kategori prestasi siswa, yakni
prestai siswa di atas rata-rata kelas, berkisar pada rata-rata kelas, dan
prestasi siswa yang berada di bawah rata-rata kelas. Dengan kata lain, prestasi
yang dicapai seseorang posisinya sangat bergantung pada prestasi kelompoknya.
Keuntungan standar ini adalah dapat diketahui prestasi kelompok atau kelas
sekaligus dapat diketahui keberhasilan pembelajaran bagi semua siswa.
Kelemahannya adalah kurang meningkatkan kualitas hasil belajar. Jika nilai
rata-rata kelompok atau kelasnya rendah, misalnya skor 40 dari seratus, maka
siswa yang memperoleh nilai 45 (di atas rata-rata) sudah dikatakan baik, atau
dinyatakan lulus, sebab berada di atas rata-rata kelas, padahal skor 45 dari
maksimum skor 100 termasuk rendah. Kelemahan yang lain ialah kurang praktis
sebab harus dihitung dahulu nilai rata-rata kelas, apalagi jika jumlah siswa
cukup banyak. Sistem ini kurang menggambarkan tercapainya tujuan pembelajaran
sehingga tidak dapat dijadikan ukuran dalam menilai keberhasilan mutu
pendidikan. Demikian juga kriteria keberhasilan tidak tetap dan tidak pasti,
bergantung pada rata-rata kelas, oleh
sebab itu standar penilaian ini disebut stándar
relatif. Dalam konteks yang lebih luas penggunaan standar penilaian ini tidak
dapat digunakan untuk menarik generalisasi prestasi siswa sebab rata-rata kelompok untuk
kelas yang satu berbeda dengan kelas yang lain, sekolah yang satu akan berbeda
dengan sekolah yang lain. Standar penilaian acuan norma tepat jika digunakan
untuk penilaian formatif.
b.
Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian
Acuan Patokan (PAP) adalah penilaian yang menggunakan acuan pada tujuan
pembelajaran atau kompetensi yang harus dikuasai siswa. Derajat keberhasilan
siswa dibandingkan dengan tujuan atau kompetensi yang seharusnya dicapai atau
dikuasai siswa bukan dibandingkan dengan prestasi kelompoknya. Dalam penilaian
ini ditetapkan kriteria minimal harus dicapai atau dikuasai siswa. Kriteria
minimal yang biasa digunakan adalah 80% dari tujuan atau kompetensi yang
seharusnya dikuasai siswa. Makin tinggi kriterianya makin baik mutu pendidikan
yang dihasilkan. Standar penilaian acuan patokan berbasis pada konsep belajar
tuntas atau mastery learning. Artinya setiap siswa harus mencapai
ketuntasan belajar yang diindikasikan oleh penguasaan materi ajar minimal
mencapai kriteria yang telah ditetapkan. Jika siswa belum mencapai kriteria
tersebut siswa belum dinyatakan berhasil dan harus menempuh ujian kembali. Karena itu penilaian acuan patokan sering
disebut stándar mutlak. Dalam sistem ini guru tidak perlu menghitung nilai rata-rata
kelas sebab prestasi siswa tidak dibandingkan dengan prestasi kelompoknya. Melalui
sistem penilaian acuan patokan sudah dapat dipastikan prestasi belajar siswa
secara bertahap akan lebih baik sebab setiap siswa harus mencapai kriteria
minimal yang telah ditentukan. Namun sistem ini menuntut guru bekerja lebih
keras sebab setiap guru harus menyediakan remedial bagi siswa yang belum memenuhi
stándar yang telah ditentukan. Sistem penilaian ini tepat digunakan baik untuk
penilaian formatif maupun penilaian sumatif.
C.
Cara Penskoran
Terkait
dengan sistem penilaian perlu juga diketahui tentang cara memberikan skor/nilai
atau sistem pembijian yakni cara pemberian angka dalam menilai hasil belajar
siswa. Dalam sistem pembijian atau cara memberikan nilai dapat digunakan
beberapa cara. Cara pertama menggunakan sistem huruf, yakni A, B, C, D, dan E
(gagal). Biasanya ukuran yang digunakan adalah A paling tinggi, paling baik,
atau sempurna; B baik; C sedang atau cukup; dan D kurang; dan E gagal. Cara
kedua ialah dengan sistem angka yang menggunakan beberapa skala. Pada skala
empat, angka 4 setara dengan A, angka 3 setara dengan B, angka 2 setara dengan C,
dan angka 1 setara dengan D. Ada juga skala sepuluh, yakni menggunakan
rentangan angka dari 1-10. Selain itu ada juga yang menggunakan rentangan
1-100. Berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini di SD dan SMP, skala yang
dipakai adalah skala sepuluh (1-10) dan skala 100 (1-100).
D.
Ranah Penilaian Hasil
Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley
membagi tiga macam hasil belajar, yakni: (a) keterampilan dan kebiasaan, (b)
pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil
belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Sedangkan Gagne membagi lima kategori belajar, yakni: (a) informasi verbal, (b)
keterampilan intelektual, (c) startegi kognitif, (d) sikap, dan (e)
keterampilan motoris.
Dalam sistem
pendidikan nasional rumusan hasil belajar banyak menggunakan klasifikasi hasil
belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga
ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Ranah
kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam
aspek yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi. Aspek pertama, kedua dan ketiga termasuk kognitif tingkat rendah,
sedangkan aspek keempat, kelima dan keenam termasuk kognitif tingkat tinggi.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan
bertindak. Ada enam aspek ranah
psikomotoris, yakni: (a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c)
kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau ketetapan, (e) gerakan keterampilan
kompleks, dan (f) gerakan ekspresif dan interpretatif. Ketiga ranah tersebut
menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara ketiga ranah itu, ranah
kognitiflah yang paling banyak dinilai para guru di sekolah karena berkaitan
dengan kemampuan para siswa dalam menguasai bahan pengajaran.
1.
Ranah Kognitif
a. Tipe Hasil Belajar Pengetahuan
Pada tahap ini menuntu siswa untuk
mampu mengingat (recall) berbagai informasi yang telah diterima
sebelumnya. Istilah pengetahuan
dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge dalam taksonomi
Bloom. Sekalipun demikian, maknanya tidak sepenuhnya tepat sebab dalam
istilah tersebut termasuk pula pengetahuan faktual disamping pengetahuan
hafalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan, definisi, istilah,
pasal dalam undang-undang, nama-nama tokoh, nama-nama kota dll. Dilihat
dari segi proses belajar, istilah-istilah tersebut memang perlu dihafal dan
diingat agar dapat dikuasainya sebagai dasar bagi pengetahuan atau pemahaman
konsep-konsep lainnya. Ada beberapa cara untuk dapat mengingat dan
menyimpannya dalam ingatan seperti teknik memo, jembatan keledai, mengurutkan
kejadian, membuat singkatan yang bermakna. Tipe hasil belajar pengetahuan
termasuk kognitif tingkat rendah yang paling rendah. Namun, tipe hasil
belajar ini menjadi prasarat bagi tipe hasil belajar berikutnya. Hafalan menjadi
prasarat bagi pemahaman. Hal ini berlaku bagi semua bidang ilmu, baik
matematika, pengetahuan alam, ilmu sosial, maupun bahasa. Misalnya hafal suatu
rumus akan menyebabkan paham bagaimana menggunakan rumus tersebut; hafal
kata-kata akan memudahkan membuat kalimat.
b. Tipe Hasil Belajar Pemahaman
Tipe
hasil balajar yang lebih tinggi dari pada pengetahuan adalah pemahaman. Pada tahap ini kategori pemahaman
dihubungkan dengan kemampuan untuk menjelaskan pengetahuan, informasi yang telah diketahui
dengan kata-kata sendiri. Pada tahap ini peserta didik diharapkan menerjemahkan
atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri. Misalnya
menjelaskan susunan kalimat
dengan bahasa sendiri, memberi contoh lain dari yang telah dicontohkan,
menggunakan petunjuk penerapan pada kasus lain. Dalam taksonomi Bloom,
kesanggupan memahami setingkat lebih tinggi dari pada pengetahuan. Namun,
tidaklah berarti bahwa pengetahuan tidak perlu ditanyakan sebab, untuk dapat
memahami, perlu terlebih dahulu mengetahui atau mengenal. Pemahaman dapat
dibedakan ke dalam
tiga kategori. Tingkat
terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan dalam arti yang
sebenarnya, misalnya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, pemahaman
mengartikan Bhineka Tunggal Ika, mengartikan merah putih, menerapkan
prinsip-prinsip listrik dalam memasang saklar dll yang sejenis. Tingkat
kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan bagian-bagian terdahulu
dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari
grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok,
menghubungkan pengetahuan tentang konjungsi kata kerja, subjek, dan possesive
sehingga tahu menyusun kalimat. Pemahaman tingkat ketiga atau tingkat
tertinggi adalah pemahaman ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan
seseorang mampu melihat di balik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang
konsekuensi dari suatu kejadian, dapat memperluas presepsi dalam arti waktu,
dimensi, kasus, ataupun masalahnya. Meskipun pemahaman dapat dipilahkan menjadi
tiga tingkatan di atas, perlu disadari bahwa menarik garis yang tegas antara
ketiganya tidaklah mudah. Penyusun tes dapat membedakan soal yang susunannya termasuk
subkategori tersebut, tetapi tidak perlu berlarut-larut mempersalahkan ketiga
perbedaan itu. Sejauh dengan mudah dapat dibedakan antara pemahaman terjemahan,
pemanfsiran, dan ekstrapolasi, bedakanlah untuk kepentingan penyususunan soal
tes hasil belajar.
c. Tipe Hasil Belajar Aplikasi
Aplikasi merupakan kemampuan untuk
menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi
yang baru, serta memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan
sehari-hari. Aplikasi adalah penggunaan
abstraksi pada situasi kongkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin
berupa ide, teori, rumus, hukum, prinsip, generalisasi dan pedoman atau
petunjuk teknis. Menerapkan abstraksi ke dalam situasi baru disebut aplikasi.
Aplikasi yang berulangkali dilakukan pada situasi lama akan beralih menjadi
pengetahuan hafalan atau keterampilan. Suatu situasi akan tetap dilihat sebagai
situasi baru bila terjadi proses pemecahan masalah. Situasi bersifat lokal dan
mungkin pula subjektif sehingga tidak mustahil bahwa sesuatu itu baru bagi
banyak orang, tetapi sesuatu yang sudah dikenal bagi beberapa orang tertentu.
Mengetengahkan problem baru hendaknya lebih didasarkan atas realitas yang ada
di masyarakat atau realitas yang ada di dalam kehidupan siswa sehari-hari.
d. Tipe Hasil Belajar Analisis
Analisis merupakan kemampuan
mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen / elemen suatu
fakta. Konsep pendapat asumsi hipotesis atau kesimpulan dan memeriksa setiap
komponen tersebut untuk melihat ada atau tidaknya kontradiksi. Dalam tingkat
ini peserta didik diharapkan menunjukkan hubungan diantara berbagai gagasan
dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar prinsip atau prosedur
yang telah dipelajari.
Dengan
kemampuan analisis diharapkan siswa mempunyai pemahaman yang komprehensif
tentang sesuatu dan dapat memilah atau memecahnya menjadi bagian-bagian yang
terpadu baik dalam hal prosesnya, cara bekerjanya, maupun dalam hal
sistematikanya. Bila kecakapan analisis telah dikuasai siswa maka siswa akan
dapat mengaplikasikannya pada situasi baru secara kreatif.
e. Tipe Hasil Belajar Sintesis
Merupakan kemampuan seseorang dalam
mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada
sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh. Berpikir
berdasar pengetahuan hafalan, berpikir pemahaman, berpikir aplikasi, dan
berpikir analisis dapat dipandang sebagai berpikir konvergen yang satu tingkat
lebih rendah daipada berpikir devergen. Dalam verpikir konvergen, pemecahan
masalah atau jawabannya akan mudah diketahui berdasarkan yang sudah dikenalnya.
Berpikir sintesis adalah berpikir divergen. Dalam berpikir divergen pemecahan
masalah atau jawabannya belum dapat dipastikan. Mensintesiskan unit-unit
tersebar tidak sama dengan mengumpulkannya kedalam satu kelompok besar. Kalau
analisis memecah integritas menjadi bagian-bagian, sebaliknya sintesis adalah
menyatukan unsur-unsur
menjadi suatu integritas yang mempunyai arti. Berpikir sintesis merupakan
sarana untuk dapat mengembangkan berpikir kreatif. Seseorang yang kreatif
sering menemukan atau menciptakan sesuatu. Kreatifitas juga beroperasi dengan
cara berpikir divergen. Dengan kemampuan sintesis, siswa dimungkinkan untuk
menemukan hubungan kausal, urutan tertentu, astraksi dari suatu fenomena dll.
f. Tipe Hasil Belajar Evaluasi
Evaluasi
adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari
tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan, metode, materi, dll. Oleh karena itu
maka dalam evaluasi perlu adanya suatu kriteria atau stándar tertentu. Dalam
tes esai, stándar atau kriteria tersebut muncul dalam bentuk frase ”menurut
pendapat saudara” atau “menurut teori tertentu”. Frase yang pertama sukar diuji
mutunya, setidak-tidaknya sukar diperbandingkan sebab variasi kriterianya sangat
luas. Frase yang kedua lebih jelas standarnya. Untuk mengetahui tingkat
kemampuan siswa dalam evaluasi, maka soal-soal yang dibuat harus menyebutkan
kriterianya secara eksplisit. Mengembangkan kemampuan evaluasi penting bagi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kemampuan evaluasi memerlukan kemampuan
dalam pemahaman, aplikasi, analisis, dan sintesis. Artinya tipe hasil belajar
evaluasi mensaratkan dikuasainya tipe hasil belajar sebelumnya.
2.
Ranah Afektif
Ranah
afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap
seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki
penguasaan kognitif tingkat tinggi. Penilaian hasil belajar afektif kurang
mendapat perhatian dari guru. Dalam menilai hasil belajar siswa para guru lebih
banyak mengukur siswa dalam penguasaan aspek kognitif. Tipe hasil belajar
afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya
terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman
sekelas, kebiasaan belajar, dan hubungan sosial. Sekalipun bahan pengajaran
berisi ranah kognitif, ranah efektif harus menjadi bagian integral dari bahan tersebut dan harus tampak dalam
proses belajar dan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Hasil belajar ranah
efektif terdiri atas lima kategori sebagai berikut:
a. Reciving/attending,
yakni kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang
kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dll. Dalam tipe ini
termasuk kesadaran, untuk menerima stimulus, keinginan untuk melakukan kontrol
dan seleksi terhadap rangsangan dari luar.
b. Responding
atau jawaban, yakni reaksi yang
diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini
mencakup ketetapan reaksi, kedalaman perasaan, kepuasan merespon, tanggung
jawab dalam memberikan respon terhadap stimulus dari luar yang datang pada
dirinya.
c. Valuing
berkenaan dengan nilai atau kepercayaan
terhadap gejala atau stimulus yang diterimanya. Dalam hal ini termasuk
kesediaan menerima nilai, latar belakang atau pengalaman untuk menerima nilai
dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.
d. Organisasi,
yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk
hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang
telah dimilikinya. Internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua sistem nilai
yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah
lakunya.
3. Ranah Psikomotorik
Hasil
belajar psikomotorik
tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak. Ada
enam tingkatan keterampilan, yakni:
a.
Gerak refleks
(keterampilan pada gerakan yang tidak sadar).
b.
Keterampilan pada
gerakan dasar.
c.
Kemampuan perseptual,
termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris, dan
lain-lain.
d.
Kemampuan di bidang
fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan dan ketepatan.
e.
Gerak-gerak skill,
mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks.
f.
Kemampuan yang
berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan
interpreatif.
Hasil
belajar yang dikemukakan di atas sebenarnya tidak berdiri sendiri tetapi selalu
berhubungan satu sama lain, bahkan ada dalam kebersamaan. Seseorang yang berubah
tingkat kognisinya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah pula sikap dan
perilakunya.
E. Alat
Penilaian Hasil Belajar
Uraian
di bawah ini menjelaskan secara khusus alat penilaian hasil belajar, yakni tes,
baik tes uraian (esai) maupun tes objektif. Tes sebagai alat penilaian adalah
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapat jawaban dari
siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan) atau
dalam bentuk perbuatan (tes tindakan). Tes pada umumnya digunakan untuk menilai
dan mengukur hasil belajar ranah kognitif dalam hal penguasaan bahan ajar
sesuai dengan kurikulumnya. Sungguhpun demikian dalam batas tertentu tes dapat
pula digunakan untuk mengukur hasil belajar ranah afektif dan psikomotoris. Ada
dua jenis tes yang akan dibahas yakni tes uraian atau tes esai dan tes
objektif. Tes uraian terdiri dari uraian bebas, uraian terbatas dan uraian
berstruktur. Sedangkan tes objektif terdiri dari beberapa bentuk, yaitu bentuk
pilihan benar-salah, pilihan berganda dengan berbagai variasinya, menjodohkan
dan bentuk isian pendek atau melengkapi.
1.
Tes Uraian
Tes
uraian, yang dalam literatur disebut juga essay examination, merupakan alat
penilaian hasil belajar yang paling tua. Secara umum tes uraian ini adalah
pertanyaan yang menuntut siswa menjawabnya dalam bentuk menguraikan,
menjelaskan, mendiskusikan, membandingkan, memberikan alasan dan bentuk lain
yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan menggunakan kata-kata dan
bahasa sendiri. Dengan demikian, dalam tes ini dituntut kemampuan siswa dalam
hal mengekspresikan gagasan melalui bahasa tulisan. Disinilah kakuatan atau
kelebihan tes esai dari alat penilaian lainnya. Sungguhpun demikian, sejak
tahun 1960-an bentuk tes ini banyak ditinggalkan orang karena munculnya bentuk
tes objektif. Bahkan sampai saat ini tes objektif sangat populer dan digunakan
oleh hampir semua guru mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Ada
semacam kecenderungan di kalangan para pendidik dan guru untuk menggunakan tes
uraian sebagai alat penilaian hasil belajar disebabkan oleh beberapa hal antara
lain ialah (a) adanya gejala menurunnya hasil belajar yang salah satu
diantaranya berkenaan dengan penggunaan tes objektif, (b) lemahnya para siswa
dalam menyatakan gagasan sebagai akibat penggunaan tes objektif yang
berlebihan, (c) kurangnya daya analisis siswa karena terbiasa dengan tes
objektif yang memungkinkan mereka main tebak jawaban manakala menghadapi
kesulitan dalam menjawabnya.
Kondisi
seperti ini menyebabkan adanya keinginan untuk menggunakan kembali tes uraian.
Harus diakui bahwa tes uraian dalam banyak hal mempunyai kelebihan daripada tes
objektif terutama dalam hal meningkatkan kemampuan menalar para siswa. Hal ini
disebabkan karena melalui tes uraian dapat mengungkapkan aspek kognitif tingkat
tinggi seperti analisis-sintesis-evaluasi, baik secara lisan maupun tulisan.
Siswa juga dibiasakan sengan kemampuan memecahkan masalah (problem solving),
mencoba merumuskan hipotesis, menyusun dan mengekspresikan gagasannya dan
menarik kesimpualan dari pemecahan masalah. Agar diperoleh soal-soal bentuk
uraian yang dikatakan memadai sebagai alat penilaian hasil belajar, hendaknya
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dari Segi Isi yang Diukur
Segi
yang akan diukur hendaknya ditentukan secara jelas abilitasnya, misalnya
pemahaman konsep, aplikasi suatu konsep, analisis suatu permasalahan, dan aspek
kognitif lainnya dengan kejelasan apa yang akan diungkapkan maka soal atau
pertanyaan yang dibuat hendaknya mengungkapkan kemampuan siswa dalam abilitas
tersebut. Setelah abilitas yang hendak diukur cukup jelas tetapkan materi yang
ditanyakan. Dalam memilih materi sesuai dengan kurikulum atau silabusnya,
pilihlah materi yang esensial yakni materi yang menjadi inti persoalan dan
menjadi dasar untuk penguasaan materi lainnya. Dengan perkataan lain, bila
konsep esensial dikuasai, maka secara keseluruhan siswa akan mengetahui
aspek-aspek yang berkenaan dengan konsep tersebut. Aturlah penyajian pertanyaan
secara berurutan mulai dari yang mudah menuju kepada yang lebih sulit, atau
dari yang sederhana menuju kepada yang lebih kompleks.
b. Dari Segi Bahasa
Gunakan
bahasa yang baik dan benar sehingga mudah diketahui makna
yang terkandung dalam rumusan pertanyaan. Bahasanya sederhana, singkat tetapi
jelas apa yang ditanyakan. Hindari bahasa yang berbelit-belit, membingungkan
atau mengecoh siswa.
c. Dari Segi Teknis Penyajian Soal
Hendaknya
jangan mengulang-ulang pertanyaan terhadap materi yang sama sekalipun untuk
abilitas yang berbeda sehingga soal atau pertanyaan yang diajukan lebih
komprehensif daripada segi lingkup materinya. Perhatikan waktu yang tersedia
untuk mengerjakan soal tersebut sehingga soal tidak terlalu banyak atau terlalu
sedikit. Bobot penilaian untuk setiap soal hendaknya dibedakan menurut tingkat
kesulitan soal. Soal-soal yang sulit diberi bobot yang lebih besar, Tingkat
kesulitan soal bisa dilihat dari sifat materinya, abilitas yang akan diukurnya.
Abilitas analisis lebih sulit daripada aplikasi dan pemahaman, sintesis lebih
sulit daripada analisis. Sedangkan dari aspek materi, konsep lebih sulit
daripada fakta.
d. Dari Segi Jawaban
Setiap
pertanyaan yang hendak diajukan sebaiknya telah ditentukan jawaban yang
diharapkan, minimal pokok-pokoknya. Tentukan pula besarnya skor maksimal untuk
setiap soal yang dijawab benar dan skor minimal bila jawaban dianggap salah
atau kurang memadai. Jangan sekali-kali mengajukan pertanyaan yang jawabannya
belum pasti atau guru sendiri tidak tahu jawabannya, atau mengharapkan
kebenaran jawaban tersebut diperoleh dari siswa. Skoring bisa digunakan dalam
berbagai bentuk, misalnya sakala 1-4 atau 1-10, bahkan bisa juga skala 1-100.
Namun, yang paling umun digunakan adalah 1-10. Dengan demikian, guru tidak
memberi angka nol terhadap jawaban yang salah. Gunakan sistem bobot dalam
memberikan nilai terhadap jawaban untuk setiap nomor. Bobot nilai bisa menggunakan
skala 1-10 misalnya untuk soal kategori mudah diberi bobot dua, soal kategori
cukup diberi bobot tiga, dan soal kategori sulit diberi bobot lima
sehinggan jumlah bobot itu 10. Contoh : diberikan 5 soal uraian. Nomor 1 soal
kategori mudah, nomor 2,3 dan 4 soal kategori sedang dan 5 soal kategori sulit.
Misalkan hasil pemeriksaan jawaban siswa diperoleh data sebagai berikut :
Ali
memperoleh skor sebagai berikut :
Nomor
soal Nilai yang diperoleh Bobot Nilai Total Nilai
|
Nomor soal
|
Nilai yang diperolah
|
Bobot nilai
|
Total nilai
|
|
1
|
4
|
2
|
8
|
|
2
|
3
|
3
|
9
|
|
3
|
3
|
3
|
9
|
|
4
|
4
|
3
|
12
|
|
5
|
2
|
5
|
10
|
|
|
Σ 16
|
|
Σ 48
|
Nilai
rata-rata sebelum diberi bobot adalah 16/5 = 3,2. Nilai rata-rata setelah diberi bobot adalah
48/16 = 3,0. Rendahnya nilai Ali setelah dibobot
karena jawaban
Ali terhadap soal nomor 5 yang termasuk soal sulit
adalah rendah.
Ali
hanya menjawab benar pada soal yang termasuk mudah.
2.
Tes Objektif
Soal-soal
bentuk objektif banyak digunakan guru dalam menilai hasil belajar. Hal ini
disebabkkan tes obyektif bisa mencakup bahan pelajaran yang lebih banyak dan
mudahnya memeriksa jawaban siswa..Soal-soal tes objektif dikenal ada beberapa
bentuk, yakni jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan, dan pilihan berganda.
Kecuali bentuk jawaban singkat dan bentuik benar salah, soal-soal bentuk
objektif telah tersedia kemungkinan jawabannya dan siswa tinggal memilih salah
satu kemungkinan yang paling tepat.
a. Bentuk Soal Jawaban Singkat
Bentuk soal
jawaban singkat merupakan soal yang menghendaki jawaban dalam bentuk
kata, bilangan, kalimat atau simbol dan jawbannya hanya dapat dinilai benar
atau salah. Ada dua bentuk soal jawaban singkat, yaitu bentuk pertanyaan
langsung dan bentuk pertanyaan tidak lengkap.
Contoh
:
Berpakah
luas daerah segitiga yang panjang alasnya 8 cm dan tingginya
6 cm?
Luas
daerah segitiga yang panjang alasnya 8 cm dan tingginya 6 cm adalah?
Bentuk soal
jawaban singkat cocok untuk mengukur pengetahuan yang berhubungan dengan
istilah, fakta, prinsip, metode, prosedur dan penafsiran data sederhana. Kaidah
penulisan soal bentuk jawaban singkat antara lain (a) jangan megambil
pernyataan langsung dari buku, (b) pernyataan hanya megandung satu jawaban yang
dapat diterima, dan (c) jawaban harus singkat dan jangan sampai lebih panjang
dari pertanyaannya.
b. Bentuk Soal Benar-Salah
Bentuk soal
benar salah adalah bentuk soal-soalnya berupa pernyataan. Sebagian dari
pernyataan itu merupakan pernyataan yang benar dan sebagian lagi pernyataan
yang salah. Pada umumnya bentuk soal benar-salah dapat dipakai untuk mengukur
pengetahuan siswa tentang fakta, definisi dan prinsip.
Contoh
:
1) B
– S Danau Toba di Sumatera Utara dari segi pembentukannya merupakan danau tektonik.
2) B
– S Perpindahan penduduk dari desa ke kota disebut transmigrasi. Kaidah
penulisan bentuk benar salah adalah sebagai berikut:
a) Hindari
pernyataan yang mengadung kata kadang-kadang, selalu sering kali dan yang
sejenisnya.
b) Hindari
pengamblan kalimat langsung dari buku pelajaran.
c) Hindari
pernyataan negatif.
d) Usahakan
agar kalimat untuk setiap soal tidak terlalu panjang.
e) Hindari
pernyataan yang masih diperdebatkan kebenarannya.
c. Bentuk Soal Menjodohkan
Bentuk
soal menjodohkan terdiri atas sub kelompok pernyataan yang pararel. Kedua
kelompok pernyataan ini berada dalam satu kesatuan. Kelompok sebelah kiri
merupakan bagian yang berisi soal dan kelompok sebelah kanan berisi jawabannya.
Jumlah jawaban dibuat lebih banyak dari jumlah soal.
Contoh:
|
Kelompok A
|
Kelompok B
|
|
1. Kekurangan
vitamin C
|
a. Penyakit
rabun ayam
|
|
2. Kekurangan
vitamin B kompleks
|
b. Sariawan
|
|
3. Kekurangan
vitamin B1
|
c. Penyakit
gondok
|
|
4. Kekurangan
vitamin A
|
d. Penyakit
rakhitis
|
|
5. Kekurangan
vitamin D
|
e. Penyakit
beri-beri
|
|
|
f. Pertumbuhan
badan lambat
|
Kaidah
menulis soal bentuk menjodohkan adalah sebagai berikut:
1)
Materi yang ditanyakan berasal dari hal yang sama atau homogen.
2)
Pertanyaan dan jawaban mudah dupahami.
3)
Jumlah jawaban minimal satu lebih banyak dari jumlah pertanyaan.
4)
Susunlah soal dan jawaban pada halaman yang sama.
5)
Terdapat hubungan logis antara soal dengan jawaban.
d.
Bentuk Soal Pilihan Berganda
Soal pilihan
ganda adalah bentuk soal yang terdiri atas pertanyaan disertaisejumlah
kemungkinan jawabannya yang harus dipilih salah satu yang paling benar atau
paling tepat. Oleh sebab itu soal pilihan berganda terdiri atas beberapa aspek
yakni: stemp, option, kunci dan distractor/pengecoh.
-
stemp; yakni pertanyaan yang berisi permasalahan yang akan ditanyakan
-
option; yakni sejumlah alternatif jawaban yang harus dipilih
-
kunci; yakni jawaban yang paling benar atau paling tepat
-
distractor; yakni jawaban-jawaban lain selain kunci jawaban (jawaban pengecoh)
Contoh
soal bentuk pilihan berganda adalah sebagai berikut
Mahkamah
Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa berkedudukan di kota........ (stem)
a.
Jenewa
b.
Denhaag (a adalah kunci)
c.
London (a-b-c-d adalah option)
d.
New York (b-c-d adalah pengecoh)
Kaidah
penulisan soal bentuk pilihan berganda adalah sebagai berikut:
1)
Pokok soal atau stemp
harus dirumuskan secara jelas sehingga mudah dipahami maknanya oleh
siswa.
2)
Hindari perbyataan
negatif pada pokok soal atau stemp
3)
Usahakan option atau
kemungkinan jawaban bersifat homogeen atau sejenis.
4)
Di antara option harus
ada satu jawaban yang benar atau tepat.
5)
Pengecoh harus
berfungsi bukan asal ada.
6)
Hindari adanya semacam
petunjuk terhadap jawaban yang benar.
7)
Apabila option
berbentuk angka susunlah mulai dari angka terkecil.
Setiap
bentuk soal obyektif tes selalu diawali dengan petunjuk pengerjaan soal dan
petunjuk tersebutharus harus jelas agar siswa tidak salah menjawabnya. Bentuk
soal sawaban singkat petunjuknya adalah; isilah dengan kata yang tepat.
Bentuk soal benar salah petunjuknya adalah; pilih dengan cara memberi silang
huruf B jika pernyataan itu benar dan huruf S bila pernyataan itu salah. Bentuk menjodohkan petunjuknya
adalah; pasangkan huruf yang ada pada sebelah kiri dengan huruf yang ada pada
sebelah kanan yang menurut kamus paling benar.
Bentuk pilihan berganda petunjuknya adalah; pilih salah satu huruf
yang menurut kamu paling tepat sebagai jawabannya. Dalam kaitannya dengan
penyusunan alat penilaian ada beberapa langkah yang harus ditempuh, yakni:
1) Menelaah
kurikulum dan buku pelajaran agar dapat ditentukan lingkup pertanyaan, terutama
materi pelajaran, baik luasnya maupun kedalamanya.
2) Merumuskan
tujuan dan indikator keberhasilan belajar agar mudah dalam menentukan materi
yang akan diujikan.
3) Membuat
kisi-kisi atau blueprint alat penilaian. Dalam kisi-kisi harus tampak abilitas
atau kemampuan yang akan diukur, lingkup materi/bahan yang akan diujikan,
tingkat kesulitan soal, jenis alat penilaian yang digunakan, jumlah
soal/pertanyaan,dan perkiraan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan soal/pertanyaan
tersebut.
4) Menulis
soal-soal/pertanyaan berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat. Dalam penulisan
soal, perhatikan aturan penulisan soal sebagai alat penilaian hasil belajar.
5) Membuat
kunci jawaban soal agar pemeriksa mempunyai pemahaman dan kriteria yang sama
atas jawaban yang diberikan siswa.
Sungguhpun
demikian tes hasil belajar tidak mungkin dapat mengungkapkan
semua materi yang ada dalam kurikulum, sekalipun hanya untuk
satu semester. Oleh sebab itu, harus diambil sebagian dari materi dalam bentuk
sampel tes. Sampel tes harus dapat mencerminkan materi yang terkandung
dalam kurikulum. Cara yang ditempuh dalam menetapkan sampel tes
adalah memilih konsep-konsep materi yang esensial. Misalnya menetapkan
sejumlah konsep yang terdapat pada setiap pokok bahasan. Setiap konsep yang dipilih kemudian
dikembangkan beberapa pertanyaan tes. Disinilah pentingnya peranan kisi-kisi
penyusunan alat penilaian.
BABIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penilaian hasil
belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai
siswa dengan kriteria tertentu. Penilaian
hasil dan proses belajar saling berkaitan satu sama lain sebab hasil belajar
yang dicapai siswa merupakan akibat dari proses pembelajaran yang ditempuhnya.
Dilihat
dari fungsinya penilaian dibedakan menjadi lima jenis yaitu penilaian formatif, penilaian
sumatif, penilaian diagnostik, penilaian selektif, dan penilaian penempatan. Selain jenis-jenis
penilaian perlu juga dijelaskan mengenai standar penilaian yakni cara yang
digunakan dalam menentukan derajat keberhasilan hasil penilaian sehingga dapat
diketahui kedudukan siswa, apakah ia telah menguasai ujuan pembelajaran ataukah
belum.
B. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
Nana
Sudjana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nana
Sudjana, R. Ibrahim. 2000. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar
Baru.
Dimyati, Mudjiono.1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Pt Rineka
Cipta.
SyaifulSagala.
Konsep dan Makna Pendidikan.2007.Bandung.
Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar